Opini : Yong Ganas
Dalam dunia jurnalistik, ada istilah baru yang mulai sering terdengar di warung kopi, di ruang redaksi, bahkan di kalangan pejabat daerah: “Wartawan Rinso.”
Istilah ini memang terdengar jenaka, tapi maknanya getir — menggambarkan sekelompok oknum wartawan yang lebih senang mencuci nama pejabat daripada menegakkan kebenaran.
Rinso, seperti kita tahu, adalah bahan pembersih. Tugasnya sederhana: mencuci pakaian yang kotor agar kembali tampak bersih.
Namun, ketika “Rinso” dipakai untuk menyebut wartawan, artinya berubah total: bukan lagi membersihkan noda, tapi mencuci kesalahan.
Mereka hadir bukan untuk mencari kebenaran, melainkan membersihkan citra orang yang seharusnya dikritisi.
Fenomena ini sering terjadi. Ketika sebuah media dengan susah payah menelusuri data, melakukan konfirmasi, dan akhirnya memberitakan dugaan korupsi atau penyimpangan di sebuah dinas, muncullah “wartawan Rinso.”
Mereka datang belakangan — bukan untuk memperkuat data, tapi menenangkan pejabat yang gelisah.
Dengan gaya halus, mereka menenangkan sang pejabat: “Nanti saya bantu klarifikasi di media saya, Pak. Supaya nama Bapak bersih lagi.”
Dan seperti sabun yang dibayar per kemasan, klarifikasi itu pun keluar dengan aroma pencucian: menepis, menyangkal, bahkan menyerang media lain yang mengungkap kasus tersebut.
Hasilnya? Pejabat tersenyum lega, dan “wartawan Rinso” pulang dengan amplop di saku.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat sepele. Tapi bagi jurnalis sejati, ini adalah penghinaan terhadap profesi.
Wartawan sejatinya adalah pengawas sosial, pilar keempat demokrasi.
Ia bekerja bukan demi “pulus”, melainkan demi publik yang berhak tahu kebenaran.
Sementara “wartawan Rinso” justru memperjualbelikan idealisme itu. Mereka menulis bukan berdasarkan fakta, tapi berdasarkan bayaran.
Ketika media lain berjuang menegakkan integritas, mereka malah mengaburkannya dengan tinta palsu — mengubah berita menjadi iklan penyucian.
Pertanyaannya sederhana: Apakah orang-orang seperti ini pantas disebut wartawan?
Ataukah mereka sekadar “kaki tangan pejabat” dengan gelar baru — si tukang Rinso?
Profesi wartawan sejati lahir dari nurani, bukan dari amplop. Ia bekerja di antara risiko, tekanan, bahkan ancaman, hanya untuk menjaga agar publik tidak dibutakan oleh manipulasi kekuasaan.
Maka ketika ada segelintir orang yang memakai kartu pers hanya untuk mencuci dosa pejabat, sesungguhnya mereka telah mengotori baju profesi yang selama ini dijaga dengan darah dan keringat.
Pers tidak akan mati karena tekanan politik, tapi bisa hancur karena pengkhianatan dari dalam.
Dan pengkhianatan terbesar itu datang dari mereka yang menjual berita demi uang.
Mungkin sudah saatnya wartawan sejati bersuara: Kita bukan “Rinso.” Kita bukan pencuci dosa. Kita adalah penjaga kebenaran — meski terkadang harus berjalan sendirian. (Yg)