Jakarta – Telisik.Co.Id
Drama hukum yang membelit psikiater sekaligus mantan direktur PT Blue Bird Taxi, dr. Mintarsih Abdul Latief Sp.KJ, tampaknya belum berakhir.
Ia menyebut putusan final Mahkamah Agung (MA) yang seharusnya menjadi akhir dari proses hukum, justru kembali “ditambah” dengan berbagai ketentuan baru.
“Sebelum Blue Bird go public, Purnomo sebagai direktur menggugat saya, sesama direktur, tanpa persetujuan RUPS.
Gugatan atas nama PT Blue Bird Taxi itu jelas cacat hukum — peradilan sesat,” ujar Mintarsih di halaman Mahkamah Agung, Jumat (17/10/2025)
Menurut Mintarsih, perkara No. 313/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel bermula dari gugatan internal yang penuh keanehan, termasuk tuntutan agar dirinya mengembalikan seluruh gaji selama bekerja di Blue Bird.
Lebih aneh lagi, alasan yang digunakan hanyalah kesaksian seorang sekretaris pribadi Purnomo, Diana Novari Dewi, tanpa bukti tambahan, contoh pekerjaan, atau saksi independen.
“Ironis, tiga saksi lain yang juga anak buah Purnomo justru tidak memberi kesaksian apa pun soal kinerja saya,” tegasnya.
Mintarsih menghadirkan lima saksi mantan karyawan yang justru menegaskan dirinya aktif bekerja menangani manajemen operasional, database pelanggan, bengkel, suku cadang, hingga sistem komputer internal perusahaan.
“Mereka malah menyebut Purnomo dan Chandra datang ke kantor hanya beberapa jam sehari,” ungkapnya.
Tak berhenti di situ, Mintarsih juga menyoroti kejanggalan dalam gugatan tambahan berupa tudingan pencemaran nama baik akibat pemberitaan media.
“Padahal wartawan hanya menulis fakta. Kalau merasa dirugikan, kan ada hak jawab di UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” jelas psikiater lulusan FKUI itu.
Mintarsih menyoroti kejanggalan lanjutan setelah terbitnya Putusan MA No. 2601K/Pdt/2015 tanggal 21 Januari 2016, yang menghukumnya membayar denda Rp140 miliar.
Putusan ini, katanya, semestinya bersifat final dan tidak melibatkan ahli waris.
Namun secara mengejutkan, Ketua Pengadilan Negeri kemudian menambah ketentuan baru:
Surat Teguran No. 23/Eks.Pdt/2024 yang memanggil anak-anak Mintarsih untuk membayar denda Rp140 miliar.
Relaas Eksekusi 16 Desember 2024, memerintahkan sita paksa harta Mintarsih hanya dua hari setelah surat diterima.
Permintaan blokir tanah oleh Sri Adriyani Lestari, putri Purnomo, ke BPN tanpa ada putusan sita jaminan sebelumnya.
“Bayangkan, surat sita saya terima Jumat sore, eksekusi disuruh Senin pagi jam 8. Ini logika hukum macam apa?” ujar Mintarsih kesal.
Bahkan BPN menerbitkan surat pemblokiran tanah secara “tetap”, tanpa dasar putusan pengadilan yang sah.
Mintarsih juga menyinggung tindakan kekerasan yang dilakukan keluarga Purnomo terhadap seorang pemegang saham wanita berusia 74 tahun, dengan bukti visum No. 88/VER/U/2000.
“Apakah ini hasil cuci otak terhadap keluarga sendiri? Saya seperti dijajah oleh adik kandung demi uang,” ucapnya getir.
Kini, Mintarsih mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, berharap para hakim agung mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
“Kalau putra-putri hakim mengalami hal serupa, apa mereka tidak akan menangis? Dihukum untuk membayar denda irasional, yang bahkan bisa ditambah seenaknya oleh pengadilan,” ujarnya menutup.(Man)