Gambar hanya ilustrasi (Gemini)
Langkat – telisik.co.id/
Di Negeri Kelayau, seorang raja dikenal religius. Ibadahnya tak pernah putus, tutur katanya lembut, dan senyumnya menyejukkan hati rakyat.
Namun seperti kisah klasik dalam dongeng istana, kebaikan seorang raja kadang justru jadi pintu masuk bagi ambisi para panglima talam.
Di antara panglima yang selalu mengiringi langkahnya, ada seorang yang paling menonjol: panglima botak. Kepalanya licin, tapi kelicikannya lebih licin lagi.
Ia lihai membaca arah angin, tahu kapan harus merunduk, dan kapan harus memukul meja.
Mantan ketua partai ini kini juga memimpin sebuah lembaga perdagangan. Dan, seperti sudah diduga, di balik senyum manis raja, dialah tangan yang membagi “kue” proyek pembangunan.
Masalahnya, untuk mendapat kue itu, para panglima lain harus menyetor upeti yang tak ada dalam kitab perbendaharaan kerajaan.
Pajak ilegal, begitu rakyat menyebutnya. Akibatnya, kecemburuan pun membara. Panglima lain menggerutu: mereka sudah banyak berkorban memenangkan raja dalam pemilihan lalu, tapi kini harus puas jadi penonton.
Namun cerita belum berhenti di sana. Raja, dengan kepercayaannya yang begitu besar, menyerahkan mandat baru kepada panglima botak: mendirikan sebuah badan usaha milik negeri dan menjadi pemimpinnya.
Tak tanggung-tanggung, pundi-pundi kerajaan digelontorkan untuk mendirikan perusahaan raksasa itu.
Reaksi rakyat? Penuh tanda tanya. Mereka meragukan, bahkan mencibir.
“Lha wong kedai kopi miliknya saja tak pernah ramai, bagaimana mungkin ia mengurus perusahaan sebesar itu?” celetuk seorang warga dengan nada apatis.
Kecemasan rakyat bukan tanpa alasan. Rekam jejak panglima botak di lembaga yang ia pimpin sebelumnya tak menunjukkan kemajuan berarti. Usaha pribadinya pun jalan di tempat.
Kini ia dipercaya mengelola perusahaan negeri dengan modal miliaran koin emas dari kas kerajaan.
Warga takut, semua ini akan berakhir dengan satu kata: beban. Beban untuk keuangan negeri, beban untuk masa depan rakyat.
Lalu di mana sang raja? Ia tetap ramah menyapa rakyat, tetap taat beribadah, namun tampaknya enggan melihat riak di sekelilingnya.
Seolah ia lebih percaya pada doa dan senyum, ketimbang pada laporan dan akal sehat. Padahal, doa yang baik mestinya berbuah pada kebijakan yang adil.
Di Kelayau, rakyat makin resah. Unjuk rasa kian sering, sebagian tulus dari jeritan perut, sebagian lahir dari lapar elit.
Tapi semuanya mengarah pada satu pusat masalah: panglima botak yang rakus.
Sejarah mengajarkan, kerajaan bisa runtuh bukan karena lemahnya benteng, melainkan karena rapuhnya moral para panglima di dalam istana.
Dan jika raja terus membiarkan panglima botak menghisap isi lumbung negeri, maka doa dan ibadahnya tak akan cukup untuk menyelamatkan Kelayau dari kehancuran.(Upek London)